Ini adalah rangkuman dari buku yang cukup kontroversial, iblis menggugat tuhan. Kita harus sangat hati-hati dalam menyikapi dialog antara iblis dan pendeta buhairah. Salah-salah anda bisa mendukung argumentasi iblis yang di kemas dengan sangat logis.
Di keheningan malam, selagi bulan
sabit menggantung di langit barat, Rasulullah saw membawa Buhairah ke sebuah
tempat yang tak jauh dari situ. Di sana, Buhairah berkesempatan “menunggang”
Buraq, “tunggangan” surga, dan Rasulullah saw membawanya ke luar kota, jauh
dari keramaian dan hanya diterangi oleh kerlipan redup cahaya bintang.
Rasulullah saw kemudian meninggalkan
Buhairah di sebuah mata air dan aliran sungai yang rasanya manis.
Di tempat itu, Buhairah melihat
seorang dengan bentuk tubuh tak keruan duduk di bawah sebuah pohon kering.
Orang itu memakai jubah rombeng seperti seorang darwis (sufi), dan menutupi
wajahnya dengan tangan sementara air mata darah tercurah banyak sekali dari
kedua matanya – bahkan sampai menggenangi sungai.
Buhairah berkata, “Kiranya Yang
Mulia Rasulullah telah menuntunku kemari untuk belajar dari darwis ini tentang
misteri keesaan Tuhan. Tapi jika memang demikian, mengapa ia harus
menyembunyikan wajah di balik hijab air mata seperti itu ? Apakah pengetahuan
ilahiah telah menyebabkannya jadi begini ? Ah, bagaimanapun Tuhan adalah
Tuanku, dan aku wajib mematuhi-Nya.”
Di tengah isak tangis, samar-samar
Buhairah mendengar sebuah lagu mengalun dari bibir sang darwis. Ia mendekat
lagi dan mendengar alunan kata-kata ini :
Di dalam taman cinta-Nya,
ia menabur benih kepedihan.
Merawatnya dengan garam dan air
asin,
demi mencintai Yang Esa ini.
Dengan cinta yang dapat Dia terima,
kosongkan benakmu dari selain-Nya.
Campakkan cintamu pada selain-Nya.
Lalu cinta-diri, lalu semua harapan,
semua mimpi.
Terakhir, campakkan pula cintamu
pada-Nya.
Karena dalam kehadiran-Nya,
tak pernah ada ruang tersisa bagimu.
Buhairah melangkah ke arah pohon
agar dapat lebih dekat lagi, tapi si darwis mendengar langkahnya dan segera
bangkit. Sepasang sayap hitam mengembang dari punggungnya. Kedua tangannya
terkulai ke sisi tubuhnya – menampakkan seraut wajah iblis !
Buhairah terjatuh terjerembab sambil
mengutuk nama Iblis karena sakitnya. Iblis tertawa mendengarnya, lalu berkata,
“Wahai tukang intip yang ceroboh, kenapa kau kunjungi aku hanya untuk
mengutukku dan memohon perlindungan-Nya ? Padahal bukan aku yang mendatangimu.
Aku bahkan tak pernah mengganggumu, wahai Buhairah. Engkaulah yang
menggangguku, dan kini engkau mengutukku karenanya ?! Yang benar saja !”
Buhairah berkata, “Kau mengutuk ‘ia
yang terkutuk’, tak peduli apa situasinya.”
Iblis tersenyum, lalu berkata, “Kau
mengutukku ? Sadarkah kau, bahwa kau telah mengutuk ‘ia yang telah dilaknat
karena kutukannya’ ?! Aku mengutuk Adam, dan karenanya aku diusir dari surga.
Mestinya kau lebih berhati-hati dalam mengutuk; atau memang kau tak ada bedanya
dengan Adam yang juga diusir dari surga ? Adam dan aku telah dikutuk oleh
Allah. Jadi, buat apa harus takut pada kutukan Buhairah ?”
Buhairah berkata, “Ketergelinciranmu
sama sekali tak seperti ‘ketergelinciran’ Adam.1 Kau dikhianati oleh
kesombonganmu sendiri dan bertingkah kurang ajar di kerajaan Allah. Adam
terusir dari surga juga gara-gara hasutanmu. Dan berbeda denganmu, hatinya amat
pedih dan menyesal. Dengan segera ia memohon ampun dan mengaku salah pada
Tuhan. Sedangkan dirimu, kau masih saja di sini. Sungguh, kau memang tak lebih
dari sesosok monster yang dibutakan oleh kesombongan dan selamanya terkutuk.
Adam jauh lebih baik daripadamu; pembuanganmu adalah saksi dari kejahatanmu
sendiri.”
Kening Iblis berkerut. Ia memandang
tajam. “Kau bilang Adam berdosa gara-gara hasutanku ? Kalau begitu, atas
hasutan siapa aku melakukan dosa ? Tak ada gunanya kau mencaciku sebagai
monster buta, karena itu sama saja dengan menghina dirimu sendiri. Saat aku
menyembah Allah di pintu kerajaan-Nya, aku menuduh Adam dan seluruh
keturunannya di hadapan Allah.
Ingatkah kau bagaimana kejadiannya
saat itu ? Apakah kau turut membela bangsamu (bangsa manusia) di hadapan Allah
? Ataukah kau belum lagi lahir ? Sekarang kau dengan lancangnya datang dan
menuduhku. Bagaimana bisa sang penuduh diadili oleh tuduhannya sendiri, dan
masih harus diadili pula oleh si tertuduh ?
Adam saja tidak pernah berbicara
sekasar ini padaku; tidak pula menyalahkanku, walaupun aku telah menggiringnya
ke kehancuran. Tapi ia tak akan pernah melupakan perannya dalam kehancuranku.
Aku bersekongkol melawan Adam hanya setelah Allah mengusirku dari surga karena
dia. Sekarang, dengan naifnya kau berani menghinaku dan meninggikan derajatnya
(Adam) dengan omong kosong bahwa, ‘Hatinya penuh kepedihan dalam penyesalan.’
Bah ! Aku menyembah Allah selama 700
ribu tahun !2 Tak ada tempat tersisa di langit dan bumi di mana aku
tak menyembah-Nya. Sama sekali tak pantas bagimu untuk memandang sesama pemuja
Allah dengan kebencian. Ibadahmu, walau dikalikan seribu kali umurmu, tak lebih
dari setetes air di lautan dibanding cintaku pada-Nya. Apa hakmu menantangku
yang masih terhitung malaikat Allah ini,3 meludahiku dengan fitnah
bahwa aku membangkang kepada-Nya ? Jangan berani-berani mengaku pada Tuhanmu
bahwa, ‘Aku lebih baik daripada dia !’”
Buhairah berkata, “Kalau begitu,
bertobatlah ! Sujudlah pada Adam seperti yang diperintahkan-Nya. Lihat sendiri
akibat kekeraskepalaanmu. Lihatlah tubuhmu yang kini legam dan rusak.”
Iblis berkata, “Bagaimana mungkin
aku memohon ampunan lantaran mematuhi keinginan Allah ? Aku tak mungkin
menyembah siapa pun selain Allah, karena itulah perintah yang sesungguhnya.
Pembuangan ini adalah ujian-Nya, untuk melihat apakah aku akan melanggar
sumpahku dan memuja seorang berhala. Lihatlah di balik jubah kemurkaan-Nya, dan
temukan bentuk sejati dari cinta-Nya. Lihatlah di balik gunung kutukan-Nya, dan
selami permata kasih sayang dan ampunan-Nya. Jangan melihat wujudku semata-mata
sebagai hukuman-Nya. Di balik setiap bejana yang retak, pasti Dia sisipkan
anggur yang manis.”
Buhairah berujar, “Jika memang
cintamu pada-Nya benar-benar sejati, mana mungkin Dia tega merusak wujudmu dan
melemparmu keluar dari surga ?! Bukalah matamu, wahai mahluk buta, lihatlah
bagaimana jadinya kau kini !”
Iblis berkata, “Cintaku pada-Nya tak
pernah luntur sejak aku berdiri di hadapan-Nya. Kau sendiri, kapan kau pernah
bersama-Nya ? Sekali saja kau pandang matahari, sengatan cahayanya akan
menyakitimu. Bahkan saat kau tutup lagi matamu, masih saja kau rasakan sengatan
yang membakar, apalagi saat terik. Sedangkan aku, dalam keadaan buta pun masih
kulihat wajah-Nya !4
Jangan hanya menilai fisik. Saat
kutatap Adam, yang kulihat pun hanya tanah lempung. Jika aku memang tak lebih
dari sekadar wujud yang buruk, maka kau sendiri tak lebih berarti daripada
debu.
Jangan tertipu oleh penampilan lahir
segala sesuatu. Mengabaikan kesejatian batin bisa membahayakan mereka yang
ingin memahami makna keesaan ilahiah.”
Iblis melanjutkan, “Ingatlah pada
kisah Benyamin, putra Ya’qub, ketika ia menemani saudara-saudaranya ke Mesir
dan mereka diundang sebagai tamu oleh seorang Raja Mesir. Selama perjamuan
berlangsung, sang Raja memanggil Benyamin untuk berbicara empat mata dengannya.
‘Ketahuilah, aku ini sebenarnya Yusuf, saudaramu yang telah lama hilang. Jangan
katakana pada saudaramu yang lain bahwa kau telah menemukan aku, jangan pula
mengatakan bahwa aku masih hidup. Mereka telah berlaku jahat dan bersekongkol
melawanku. Akan kutahan kau di sini dengan sebuah siasat, agar mereka ingat
bagaimana mereka menyusun siasat untuk menipu ayah kita. Setelah itu, barulah
aku akan mengungkap identitasku yang sebenarnya kepada mereka.’
Keesokan paginya, Yusuf membekali
mereka dengan bahan makanan. Diam-diam ia juga menyelipkan gelas miliknya di
antara barang-barang Benyamin. Setelah beberapa saat, pasukan berkuda Yusuf
menghentikan kafilah para putra Ya’qub. Anak buah Yusuf langsung melancarkan
tuduhan, ‘Kalian adalah pencuri yang telah merendahkan martabat dengan
menyimpan barang milik tuan kami tanpa izin!’
‘Gelas tuan kami, terbuat dari
emas,’ jawab orang-orang Yusuf. ‘Kami akan menggeledah perbekalan kalian. Jika
kami temukan gelas itu, si pencuri akan kami seret sebagai tawanan tuan kami –
dan ia tak akan pernah kembali.’
Lewi berkata, ‘Silakan saja, kami
sungguh tak bersalah.’
Saat mereka menggeledah
barang-barang Benyamin, tentu saja mereka menemukan apa yang dicari tersembunyi
di situ. Ini membuat Lewi menjerit antara kaget dan ngeri melihatnya. Pasukan
berkuda Yusuf segera menahan Benyamin dan mengembalikan ia pada tuan mereka. Inilah
bagaimana Yusuf bersiasat melawan saudara-saudaranya; di mana berkah bagi
seseorang bisa tampak sebagai kutukan bagi yang lain.
‘Wahai Benyamin !’ pekik Lewi
memelas. ‘Kenapa kau sampai mencuri ?’
Tapi Benyamin tak protes sedikit
pun. Ia malah berkata, ‘Jika orang Mesir itu sampai memenggal leherku, akan
kugenangi tamannya dengan darahku.’”
Iblis memotong ceritanya sejenak,
menepuk-nepuk dadanya yang besar dan bidang. “Nah, aku adalah orang yang setia
pada kesejatian perintah yang sesungguhnya, bahkan jika harus tampak
seolah-olah membangkang.”
“Kisah lain,” lanjut Iblis. “Konon
Raja Mahmud selama memerintah dikelilingi oleh para penjilat dan penghasut.
Setiap senyum yang ia temui rasanya seperti menyimpan kebencian. Ia tak bisa
mempercayai siapa pun di istana, kecuali sang putra mahkota yang ia cintai
lebih dari hidupnya sendiri. Pemuda ini pun bisa mencium bahaya di istana, dan
pada suatu hari berkata pada ayahnya, ‘Ayahanda, mari kita pura-pura bertengkar
dan kita tunjukkan pertengkaran kita terang-terangan. Pada saat itu, mereka
yang diam-diam membenci dan ingin menghancurkanmu pasti akan segera menarikku
dalam rencana mereka.’
Sang ayah awalnya merasa ragu,
melihat betapa bahayanya hal ini bagi si anak. Tapi si anak bersikeras dan
akhirnya sang Raja menyetujui. Di hadapan banyak pejabat istana, sang Raja dan
putranya mulai bertengkar dan saling berteriak. Tapi tak ada seorang pun yang
mendekati putranya karena ia memang dikenal amat mencintai ayahnya.
Putra mahkota berkata, ‘Ayahanda,
penjarakanlah aku agar para penghasut berpikir bahwa pertengkaran kita memang
sungguhan. Barangkali saja pada saat itu mereka akan membuka kedok mereka
padaku.’
Lagi-lagi Mahmud ragu, karena ia
jelas tak ingin melihat anaknya dipenjara. Tapi sekali lagi si anak berkeras
dan sang Raja akhirnya luluh. Setelah beberapa bulan mendekam di penjara, si
anak mengirimkan sepucuk surat rahasia padanya. ‘Ayahanda, tak ada yang percaya
kalau pertengkaran kita sungguhan. Jatuhkanlah hukuman yang mengerikan buatku
agar mereka lebih yakin. Suruh para prajurit Ayah untuk mencambuk dan menghukum
mati diriku. Dengan begini, para pembenci Ayah pasti akan segera membelaku.’
Ketika Raja menerima pesan tersebut,
ia memekik ngeri. ‘Bagaimana mungkin kulakukan hal ini ?’
Beberapa bulan berlalu, si anak
tetap merana di penjara sementara sang Raja masih ragu untuk menjatuhkan
hukuman. Akhirnya, si anak mengirim pesan lagi pada Mahmud, ‘Jika Ayahanda tak
segera memerintahkan agar aku dihukum cambuk, maka sia-sialah penderitaanku
selama ini. Segera jatuhkan hukuman. Jangan sampai kelembekan hati Ayah
terhadapku malah jadi penghalang.’
Sekali lagi sang ayah terpaksa
menuruti kemauan anaknya dan menjatuhkan hukuman. Segera saja para pembenci
sang Raja bergabung membela putra mahkota. Setelah bebas, sang putra mahkota
mengumumkan pemberontakan secara terbuka; ia berjanji untuk menggantikan posisi
ayahnya.
Rakyat tentu saja mengutuk
habis-habisan si anak; tapi seluruh musuh sang Raja – baik yang terang-terangan
maupun yang sembunyi-sembunyi, dengan bersemangat menjilat si anak. Sementara
itu, si anak juga tak putusnya mengirimkan pesan rahasia dan mebeberkan
segalanya pada sang Raja. Dengan demikian, si anak berhasil melindungi ayahnya
sekaligus merontokkan kekuatan oposisi.
Rakyat yang mencintai Mahmud dengan segera
membenci si anak, tanpa sama sekali mengetahui duduk perkara sebenarnya.”
Iblis berkata lagi, “Jadi, aku
sebenarnya melakukan apa yang Dia perintahkan, dan aku sepenuhnya patuh pada
keinginan Allah. Mau bagaimana lagi ? Tak ada ruang yang luput dari kuasa-Nya.
Aku bukanlah tuan bagi keinginanku sendiri; jika kuturuti keinginanku, sudah
pasti akan kujaga kedekatanku dengan-Nya dari melakukan kesalahan konyol
semacam itu, tak peduli berapapun harganya. Istana-Nya penuh dengan penjilat
yang mencintai-Nya karena takut. Allah telah memberiku kuasa atas dunia demi
menyingkap kuasa-Nya yang agung. Kekuasaanku tentu saja tersamar; karena semua
adalah milik-Nya. Tetapi melalui aku, Dia meninggikan dan memuliakan diri-Nya.
Dengan berperang melawanku, sekalian mahluk-Nya akan menjadi lebih tangguh dan
terbukti keimanannya.
Jangan tuding aku sebagai sumber
penderitaan manusia. Justru manusialah yang merupakan sumber malapetaka bagiku.
Karena Adam-lah aku dikutuk. Karena dosa-dosanya,5 aku juga yang
dibuang. Sementara tuduhanku kepadanya, semuanya nyata. Hanya karena tak rela
sujud di atas debu untuk memuja anak debu (Adam), aku dilaknat.
Kau tahu, di surga, Kekasihku tega
mencelakaiku karena aku tak sanggup meninggalkan-Nya. Bahkan para malaikat
berkata, ‘Iblis adalah yang pertama kali tunduk pada Allah, karena tiada yang
lebih mencintai Allah daripada dia.’ Tapi Dia memerintahkan perpisahan kami
agar umat manusia berkesempatan menyelami keesaan-Nya. Dia umumkan
ketidakpatuhanku agar umat manusia memahami kekuasaan-Nya. Saat Dia
memerintahkanku untuk sujud di hadapan Adam, diam-diam Dia berbisik di dalam
dadaku, ‘Pergilah, dan ingatkan mereka tentang Aku !’
Demi umat manusia yang tak pernah
mencintai apa pun selain diri mereka sendiri, Dia mencampakkan cintaku. Aku berkata,
‘Ada apa kiranya dengan manusia, sampai Engkau begitu memperhatikan mereka ?’
Tapi Dia tak mau menjawab dan malah mengusirku, walaupun tahu aku tak bersalah.
Ketika para malaikat memuji cintaku
pada-Nya, Dia berkata, ‘Mereka memujamu karena kedekatanmu dengan-Ku.
Melalui cermin keimananmu, Aku melihat ketidakberimanan mereka.’ Sang
Alkemis membuat emas ini tampak seperti timah. Demi mereka yang tak beriman,
Dia rela menyingkirkan imanku. Dia berkata, ‘Kau tak boleh tunduk pada siapa
pun selain Aku.’ Lalu tiba-tiba Dia menciptakan manusia dan mengumumkan, ‘Kalian
semua harus tunduk kepadanya.’ Tapi aku tak mau, karena memang Dia sendiri
yang memerintahkan penolakanku – agar aku tidak menyembah selain Dia. Aku
berkata, ‘Hanya kepada-Mu, ya Allah !’. Tak ada malaikat atau orang beriman
lain yang tauhidnya sebaik aku. Seluruh penghuni surga berkata, ‘Mari kita puji
dia yang selain Allah, karena Allah telah memerintahkan demikian.’ Dari sini
Allah tahu bahwa mereka tidak memujanya dengan benar. Sama saja dengan umat
manusia, ketika Dia berkata, ‘Akan Kuberi kau kekuasaan atas mereka, agar
tersingkap mana-mana saja di antara mereka yang mengikutimu bukannya Aku. Akan
Kupenuhi neraka dengan mereka yang mengikutimu.’
Jadi, Dia sendirilah yang memilihku
untuk memberontak; bukan aku. Kutetapkan hatiku bagi-Nya sejak Dia
menciptakanku sampai detik ini. Aku diciptakan untuk menyembah-Nya. Sama sekali
tak ada pilihan buatku dalam hal ini. Katakan padaku, di manakah di antara
kekuasaan-Nya yang agung, pilihan itu pernah Dia bebaskan bagiku ?”
Buhairah berkata, “Kau sendiri yang
memilih untuk menolak perintah Tuhan. Pilihan jelas milik-Nya, bukan milikmu !”
Iblis berkata, “Semua pilihan,
termasuk pilihanku, adalah milik-Nya ! Dia sudah memilih dan menetapkan
untukku. Kepada-Nya berpulang semua pilihan-bebas bagi mereka yang menganggap
memiliki pilihan dalam hidup. Dan pilihan-bebasku adalah milik-Nya juga. Jika
Dia yang melarang aku untuk tunduk pada pihak lain, bagaimana mungkin aku
menentang-Nya ? Dan jika Dia yang membuatku melakukan dosa saat berbicara,
bagaimana mungkin aku membela diri ? Jadi, jika Dia memang menghendaki agar aku
sujud pada Adam, aku pasti patuh.
Setiap hari aku berkata pada-Nya,
‘Ya Allah, anak keturunan Adam menolak-Mu, namun Engkau tetap bermurah hati dan
meninggikan mereka. Tapi aku, yang mencintai dan memuja-Mu dengan pemujaan yang
benar, Engkau buat menjadi hina dan buruk rupa.’”
Buhairah berkata, “Dasar pembohong !
Sebelum Tuhan menendangmu dari surga, apa yang kau katakan ? ‘Akan kutempatkan
singgasanaku di atas singgasana-Nya dan menjadi seperti-Nya.’ Nah, masih mau
menyangkal kesaksianmu sendiri ?”
Iblis berkata, “Tidak. Aku menerima
kesaksianku. Ingatlah bahwa aku juga berkata, ‘Dengan kekuatan-Mu, akan
kusesatkan mereka !’ Jadi, Allah telah memberikan padaku singgasana di atas
arasy-Nya, agar umat manusia terlebih dahulu diuji dalam penghambaan mereka.
Aku adalah pangeran bagi mereka yang terpisah, dan targetku sudah tentu umat
manusia, kecuali mereka yang memang dipelihara oleh Allah. Jika aku memiliki
kuasa atas manusia, itu karena Dia yang menginginkan aku mengunakan kuasa
tersebut. Apalah aku ini tanpa izin-Nya. Maka, dengan sebuah kutukan, Dia
menjadikan aku penjaga gerbang-Nya.
Akankah kau alamatkan seluruh
kejahatan umat manusia padaku, seolah aku yang telah melakukan semua itu ? Aku
ini pengurus rumah tangga istana Allah. Tugasku mengusir siapa pun, di antara
kalian makhluk-Nya, yang tak pantas hadir di depan pintu-Nya. Melalui aku, Dia
singkapkan siapa-siapa saja yang tak pantas. Dia berkata, ‘Temukan mereka
yang tidak mencintai-Ku, karena orang-orang yang mencintai-Ku akan Kulindungi
dan berada di luar jangkauan kekuasaan yang Aku kuasakan kepadamu.’
Demi melaksanakan tugas ini, tentu
saja dengan senang hati aku terima beban kutukan dan laknat-Nya. Malah,
sebenarnya sama sekali bukan kutukan bagi mereka yang melihat dengan kebeningan
hati. Pengorbanan yang kulakukan menjadi berkah. Pahala yang kuterima sama
besarnya dengan pahala jihad.
Kutukan-Nya adalah mahkota emas
bagiku. Kuingat dan kuulang selalu setiap kata-kata-Nya waktu itu, setiap saat
dengan penuh kenikmatan.”
Iblis melanjutkan, “Dan ingatlah
kisah Sulaiman, putra Daud, yang memerintah sebagai raja di Yerusalem. Allah
menganugerahinya kebijakan yang luar biasa dan sebuah kerajaan. Bahkan
kemampuan untuk memahami bahasa binatang dan burung-burung.
Suatu hari, Raja Israel (Sulaiman)
merasa kehilangan sahabatnya, seekor burung bulbul. Sang Raja dengan kesal
berkata, ‘Di mana dia ? Apa dia sudah berani meninggalkan tuannya ? Di mana
burung itu ? Tampakkan dirimu segera ! Dan kau harus punya alasan yang bagus
untuk kekurangajaran ini, atau akan kugorok batang lehermu !’
Burung-burung lain mendengar hal ini
dan segera mencari si burung bulbul. Saat bertemu, rupanya ia baru saja pulang
dari Saba’ dengan kabar gembira untuk menyenangkan sang putra Daud. Para burung
segera memberinya peringatan, ‘Jangan mendekati Sulaiman dulu. Dia tahu bahwa
kau tak ada, lalu memanggilmu. Saat kau tak juga muncul, ia mengancam akan
membunuhmu !’
Mendengar hal ini, si burung bulbul
malah bercicit kegirangan, penuh suka cita.
Para burung berkata, ‘Hei ! Kau
dengar tidak apa yang kami katakan tadi ? Sulaiman hendak membunuhmu, tapi kau
malah bertingkah seperti akan diberi mahkota dan jubah kehormatan saja !’
Si burung bulbul menjawab, ‘Sang
Raja merasa kehilanganku dan menyebut namaku ! Apa ada di antara kalian yang
diingat sampai seperti itu ? Jika ia sampai memperhatikanku sedemikian rupa,
dicabut nyawa pun sama saja dengan anugerah seribu kehidupan. Jika namaku mampu
membasahi bibirnya, tak masalah ia memujiku atau mengutukku, karena keduanya
adalah mahkota dan jubah kehormatan bagiku.’”
Iblis kembali berkata, “Biarkan saja
kurukan-Nya bertahan melampaui keabadian; biarkan kutukan itu diperpanjang
melebihi ribuan tahun pengabdianku. Biarkanlah mata-Nya memandangku entah
dengan cinta atau kemurkaan. Tapi sesungguhnya, Dia telah mengistimewakan aku.
Ketika aku menolak untuk sujud di hadapan Adam, Dia berkata kepadaku, ‘Mari
kita pura-pura bertengkar, agar mereka yang membenci-Ku menampakkan dirinya
melalui kau, dan kesaksian mereka melaluimu akan memberatkan mereka di hari
akhir nanti.’ Secara rahasia Dia juga berbisik padaku, ‘Terimalah jubah
kutukan-Ku !’ Di hadapan para malaikat Dia berkata, ‘Iblis telah Kukutuk
!’ Mereka menggeleng dan menangis, seraya berkata, ‘Jika Dia sampai tega
mengutuk Iblis, malaikat terbaik di antara kita, siapa lagi yang bisa aman dari
kutukan-Nya ?’”
Buhairah berkata, “Tak akan
kubiarkan kau membuat Tuhan menanggung dosamu, dasar Iblis ! Memang mudah
sekali bagi penjahat yang menjelang digantung untuk memfitnah penghukumnya.
Dengan tali gantungan melingkari leher, dia pasti menjerit dan menghasut siapa
pun yang mau mendengarnya, ‘Algojo ini kaki tanganku juga !’ Tapi tak akan ada
yang begitu tolol untuk mau percaya, apalagi sampai menyeret si algojo ke
hadapan hakim seperti maumu !”
Iblis berkata, “Analogimu cacat.
Bukan si algojo yang kutuduh, tapi Sang Hakim itu sendiri ! Dan melalui
keadilan-Nya, Dia selalu membebaskan. Orang saleh mana yang berani menuduh-Nya
? Mereka berkata, ‘Tidak, mari kita jadikan saja Iblis sebagai mitra Allah dan
menjatuhkan kesalahan padanya kemudian.’ Dasar munafik ! Memangnya kau pikir
aku pernah berani menentang atau menghalangi keinginan-Nya ? Mahluk mana di
jagat ini yang mampu menentang-Nya ?
Tak ada kekuasaan yan mampu
menentang kuasa Allah ! Tak ada yang tersisa buat kita, selain berpuas diri
dengan apa pun yang telah Dia sediakan bagi kita. Dan ingat, tak ada satu hal
pun di jagat ini yang bisa terjadi kecuali demi kepentingan-Nya dan sesuai
dengan tujuan-Nya. Kau tak lebih dari seorang pengecut di hadapan keesaan
Allah, karena akulah musuh yang nyata bagi manusia. Dan karenanya, Allah,
melalui aku, adalah musuh bagi manusia.”
Buhairah berkata, “Kesaksianmu
palsu. Tuhan sama sekali bukan musuh bagi manusia, karena bagaimana mungkin
manusia sanggup mempunyai musuh seperti Dia ? Yang benar saja ! Tapi kau memang
musuh yang nyata bagi manusia, bukan Tuhan ! Tak masuk akal kalu Dia yang
menciptakan manusia lantas menjadikan ciptaan-Nya itu sebagai musuh !”
Iblis berkata, “Aku juga ciptaan-Nya
! Tuduhanmu justru membuktikan bahwa aku tak bersalah ! Atau barangkali akulah
si demiurge ? Kau menuduhku sebagai musuh Allah, walaupun aku mengabdi
pada-Nya. Tetap saja, seperti tadi kau bilang sendiri, ‘Mahluk mana yang
sanggup mempunyai musuh seperti Dia ?’ karena tak ada yang tak bisa Dia
kalahkan dengan amat sangat mudah.
Dia memanfaatkan kebencianku
terhadap umat manusia, semua demi tujuan-Nya sendiri. Aku sebenarnya juga
membantu umat manusia, bahkan pada saat aku merupakan momok bagi mereka. Karena
hanya melalui akulah sifat asli manusia bisa terungkap.”
Buhairah berkata, “Kau menipu dan
menghasut mahluk-mahluk-Nya dan justru menutupi mata kami dari kebenaran sejati
tentang diri kami sendiri. Yang jelek kau bikin indah, sehingga kami jadi
cenderung merusak diri. Bantuan macam apa itu ?!”
Iblis berkata, “Aku melaksanakan apa
yang mestinya Dia lakukan; toh aku tak pernah mengharapkan pujian apa pun dari-Nya.
Aku memang menipu umat manusia dengan cara ini, tapi dalam tindakan itu
tersembunyi seribu kebenaran. Pernah ada seorang murid yang bertanya pada Al
Junaid6 tentang watak asli dunia ini, tapi Al Junaid berkata, ‘Kau
tak mungkin mampu menerimanya (pengetahuan itu).’ Si murid berkeras, tapi Al
Junaid memarahinya dengan mengatakan, ‘Pengetahuan yang kau cari akan
menghancurkan dirimu sendiri. Lupakan saja. Tanyakan hal yang lain.’ Ketika
untuk ketiga kalinya si murid bertanya, Al Junaid berkata, ‘Sudah kuperingatkan
kau; biarlah Allah menjadi saksi agar tiada yang menuduhku bertanggung jawab
atas kematianmu.’ Maka disingkapkanlah bagi si murid, watak asli dunia ini.
Begitu mendengar jawaban tersebut, si murid sontak menutup telinga sambil
menjerit; tapi tetap saja pengetahuan itu mengejarnya, maka ia juga mencungkil
kedua matanya sendiri. Tapi tetap ia tak sanggup menanggung beban yang
membanjir, sampai akhirnya ia melompat ke dalam kobaran api, seraya menjerit,
‘Biarlah aku lenyap tanpa bekas, tidak bersisa tulang, tidak pula debu!’
Kalau aku ini pembohong, maka
kebohongan Allah-lah yang aku katakan. Kubuat dunia jadi tempat yang
menyenangkan bagi manusia. Kututupi bau busukny dengan wewangian dan kulapisi
wajahnya yang mengerikan dengan hijab keindahan tak terkira. Kubuat semua
tindakan manusia tampak benar dan menyenangkan. Orang yang tahu betapa cacatnya
dunia ini sebenarnya, sama sekali tak menemukan keindahan di dalamnya;
sedangkan bagi mereka yang masa bodoh, dunia terlihat bagus-bagus saja. Akulah bidan
kebodohan mereka. Padahal sedikit saja mereka gunakan akal mereka, segala akal
bulusku pasti ketahuan. Tapi rupanya mereka memang lebih mencintai dunia
sebagaimana khayalan mereka, dan kubiarkan saja begitu.
Wahai Buhairah, cobalah kau singkap
tabir ini; mampukah kau menanggung kebenaran tentang realitas dunia ini ?
Justru cacat inilah (ketidakmampuan melihat realitas) yang telah memelihara dan
menghidupimu selama ini. Jika kutarik semua kepalsuan ini, niscaya kau akan
jatuh seperti Isfandiyar, dengan anak panah Rustam menembus sebelah matamu.”
Buhairah berkata, “Justru gara-gara
tipu dayamu manusia jadi terlalu menganggap tinggi hidup mereka, bahkan sampai
menyingkirkan Tuhan mereka sendiri, dan akibatnya mereka buta akan kesejatian
diri sendiri.”
Iblis berkata, “Tidak, Buhairah.
Telah kuperlihatkan kesejatian diri mereka. Tipu dayaku telah memberi mereka
inspirasi tentang kehormatan manusia. Jika tidak dibohongi soal nilai-nilai
hidup mereka – yang menurut tuduhanmu dibangkitkan olehku, niscaya tak akan ada
yang mau bertahan di dunia ini, karena saat itu juga mereka segera mencampakkan
belenggu kehidupan mereka dan berbondong-bondong kembali pada-Nya.
Tapi jika kututupi kebenaran dan
hanya menunjukkan apa yang mereka ingin lihat saja, niscaya hanya orang-orang
terpilih dan memang pantas sajalah yang rela berkorban dan menghampiri-Nya atas
keinginan sendiri. Sisanya tak lebih dari sampah penciptaan dan tak pantas
ditinggikan. Jika mereka memang tak menghargai hidup mereka sendiri, apalah
nilai pengorbanan mereka ? Akulah yang memberi arti pada pengorbanan; akulah
yang memisahkan gandum dari dedaknya.”
Buhairah berkata, “Di bawah
pengaruhmu, umat manusia kelaparan, saling membunuh, dan berperang. Mereka
singkirkan apa yang justru menjadi perintah Tuhan dan berlomba-lomba melakukan
larangan-Nya.”
Iblis berkata, “Kujebloskan mereka
dalam penderitaan dan kesengsaraan, itu benar. Tapi melalui penderitaan dan
kesengsaraan justru watak asli manusia bisa tersingkap. Tuhanku berkata, ‘Lakukan
semaumu terhadap mereka, tapi biarkan mereka hidup. Hanya dengan demikian akan
Kita lihat seberapa berharganya harta mereka (di mata mereka) dan seberapa
tulus cinta mereka. Hadapkan cermin penderitaan pada mereka, agar mereka mampu
melihat kesejatian diri dan bersaksi atas diri mereka sendiri – tak peduli
apakah mereka tampan atau buruk rupa. Di akhirat nanti, tak akan lagi mereka
ribut seperti sekarang. Mata, kedua tangan, dan lidah mereka akan menjadi saksi
atas apa pun yang telah mereka lakukan.’
Keadaan damai dan tenang menutupi
kemuliaan manusia. Lantas bagaimana mereka menemukannya ? Tentu saja melalui
pertumpahan darah, kekerasan, dan kejahatan ! Dalam keadaan damai dan makmur,
hidup manusia jadi lebih berarti bagi diri mereka; tapi kenapa menurut
argumenmu justru aku yang menjadi sumber keegoisan manusia ? Masih saja kau
tuduh aku sebagai penyebab segala penderitaan dan kesengsaraan. Bukan aku yang
menciptakan kedua hal itu – ataupun segala bentuk kekejian lainnya. Aku hanya
bertindak sesuai dengan keinginan Tuhanku.
Ketika Isa masih kanak-kanak, Yusuf7
membawanya menemui seorang guru bernama Zakheus. Zakeus lalu mencoba
mengajarinya tentang abjad, dari A sampai Z. Diejakannya satu per satu dengan
jelas dan tepat kepada Isa.
Isa memandang sang guru dan berkata
padanya, ‘Bagaimana mungkin engkau mau mengajariku alfabet ? Engkau bahkan tak
tahu sifat dasar huruf A, apalagi mengajarkan tentang sifat sebenarnya huruf
B.’ Lalu ia menanyai Zakheus tentang huruf A. Keruan saja Zakheus tak bisa
menjawab.
Isa berkata, “Dengarlah Guru, akan
kujelaskan arti sesungguhnya huruf A dan perhatikanlah garis-garisnya. Tekanan
pada bagian tengah memotong bagian yang memanjang ke arah luar pada bagian
bawah, yang lalu disatukan di bagian puncak, menjadikan keduanya dalam satu
titik kepala, dengan bagian tertingginya sebagai penyangga. Tiga garis saling
bertemu di tiga titik, masing-masing garis panjangnya sama. Tanda-tanda garis
yang misterius ini menjelaskan sifat huruf A.’
Zakheus menutup kedua telinganya
seraya berkata, ‘Bawa dia pulang, Yusuf. Tak ada manusia yang sanggup menerima
ajarannya. Demi Tuhan, jika dia melanjutkan sampai huruf B, seluruh dunia bakal
senyap dalam kebisuan. Dia telah menyeretku begitu jauh, dan masih saja aku tak
mampu memahami apa yang dia maksud. Menakutkan melihat adanya sejumput
kebenaran dari sebuah huruf. Aku ini cuma seorang tua yang menginginkan murid,
tapi kau malah membawakan aku seorang guru. Bawa dia pulang, Yusuf.’”
Iblis melanjutkan, “Ada yang percaya
bahwa Isa mengungkapkan daya magis alfabet pada waktu itu. Yang lain
menyatakannya sebagai kiasan masalah trinitas. Omong kosong saja semua itu !
Tapi, bahkan dengan mengetahui hal ini kau masih saja kacau. Kau lebih banyak
dibingungkan oleh penampilan luar segala sesuatu. Sebagaimana halnya selarik
garis huruf A yang mengarah ke bawah, bagi dunia aku berada di titik paling
jauh dari segala yang benar dan murni. Tapi ketahuilah, di surga, semua garis
ini bertemu dan menyatu. Kebaikan dan kejahatan adalah satu adanya. Akulah
tangan putih kebenaran yang tak suci lagi ternoda, terulur dari lengan baju
Musa.
Aku menggenggam keindahan Yusuf dan
keelokan bertutur para nabi dahulu. Kusesatkan mereka yang diperintah oleh
Allah; dengan cara ini aku mengabdi sepenuhnya. Akulah lambang segala kemurkaan
bagi mereka yang dilindungi Allah. Mereka tidak mengutukku. Sama sekali tidak
jantan untuk menghina dia yang memang tak punya daya serta kuasa apapun
terhadap yang benar. Akulah tongkat Musa; Allah telah mencampakkan aku ke bumi
untuk membasmi ular di antara manusia. Tak ada yang kulakukan kecuali atas
perintah yang jelas dari-Nya.
Siapakah yang telah menyesatkan
Fir’aun ? Allah sengaja mengeraskan hatinya agar mukjizat-Nya bisa disaksikan
dan dikenang oleh dunia. Setiap kali, bahkan menjelang kematiannya, Fir’aun
selalu ragu dan berpikir, ‘Aku akan melepaskan orang-orang Yahudi itu.’ Tapi
Allah berkata, ‘Tobatmu tak diterima,’ dan kemudian mengutuknya. Allah
memang menciptakan Fir’aun dengan takdir seperti ini. Dia membutuhkan Fir’aun
sebagai contoh bagi siapapun yang menentang Musa. Apalah gunanya seorang
Fir’aun yang bertobat ? Niscaya segala mukjizat-Nya akan tampak remeh dan
konyol.
Dia mengasah pedang dengan
menghantamkannya ke batu. Taman penciptaan-Nya tidak Dia olah dengan
kelembutan, tapi dengan garam dan racun mematikan. Semua demi tujuan-Nya –
bukan tujuanku ! Siapakah yang telah mengutukku ? Dengarkah kau ? Hanya seorang
pengecut yang mengutuk pedang Sang Raja hanya karena pedang itu menyentuh
lehernya. Lihat, siapakah yang memegang pedang itu ? Hanya karena kau terlalu
takut dan pengecut untuk mengutuk langsung Sang Raja, kau pilih untuk mengutuk
instrument-Nya, walaupun instrument tersebut sepenuhnya hanya mematuhi kehendak
Sang Raja.”
Buhairah berkata, “Bagaimana dengan
kebebasan berkehendak ? Mereka yang dihancurkan oleh Tuhan, yang telah
diserahkan Tuhan ke dalam genggamanmu, kalau berdasarkan dalihmu mereka ini
sama bersalahnya denganmu. Tapi masalahnya bukan apa yang dilakukan manusia,
bahkan juga bukan apa pun yang kau lakukan, tapi apa niat awalnya – di situlah
letak kehendak-bebas berada. Tidak, dalihmu palsu. Segala yang kau katakan
memang cukup meyakinkan, tapi tetap saja palsu.
Manusia tidak akan dihukum atau
dilempar ke dalam api neraka lantaran akibat perbuatannya, tapi lantaran
niatnya. Hasil akhir, setelah niat terpatri, sepenuhnya selalu milik Tuhan.
Jadi, jika niat seseorang itu buruk tapi hasilnya baik, dia tidak akan dianggap
baik. Tapi jika niatnya baik tapi hasilnya buruk, dia tak akan dianggap buruk.
Dunia ini memang bukan kerajaan milik manusia; jagat raya ini milik Tuhan
semata. Walaupun Namrud dan Fir’aun berkuasa dan mengangkat diri mereka sebagai
‘Tuhan Yang Berkuasa’, kekuasaan mereka tak ada artinya dibanding takdir Tuhan.
Kesombongan telah menempa mereka dalam tungku kebodohan. Bahwa Namrud berhasil
menguasai dunia dan mati hanya karena gigitan serangga, itu adalah takdir
Tuhan.8 Tapi soal dia mengangkat diri sebagai Tuhan, itu pilihannya
sendiri.”
Iblis segera membantah, “Aku
menerima perintah Allah dan tak pernah sekali pun mempertanyakan siapa yang Dia
kutuk dan siapa yang Dia berkahi – karena itu semua memang hak dan pilihan-Nya.
Tidak pula kupisahkan keinginan dari tindakan, karena kupikir tak ada wilayah
kekuasaan yang terpisah dari kekuasaan-Nya.
Siapakah yang mengeraskan hati
Fir’aun ? Siapa pula yang menyesatkan siapa pun yang Dia inginkan ? Kau bilang
Namrud memanggil dirinya Tuhan dan ini adalah pilihan serta perbuatannya
sendiri tanpa ada sangkut pautnya dengan Allah. Sadarkah kau, bahwa dengan
demikian kau meletakkan Namrud independen terhadap Allah – mengatakan bahwa
Namrud itu setara dengan-Nya ?
Kau buat Namrud jadi Tuhan dengan
membubuhinya kekuatan untuk meyakini apa yang sejatinya berlawanan dengan apa
yang Allah ingin dia yakini. Tak ada kekuatan lain di luar Allah ! Jika Dia
buat seseorang itu jahat, dikutuknya aku untuk menghukum mereka . Jika Dia buat
seseorang itu baik, dikutuknya aku untuk menguji mereka. Tak ada kekuatan atau
daya apa pun selain Allah.
Dia yang mengangkat Namrud untuk
melawan Ibrahim; Dia pula yang mengangkat Fir’aun untuk melawan Musa. Dia juga
mengangkat Babilonia untuk meruntuhkan Israel. Jika Muhammad adalah instrumen
kemurahhatian Allah; kenapa pula kau mengutukku ? Tak ada bedanya, aku pun
instrumen kemurkaan Allah.
Allah berkata pada Ibrahim, ‘Aku akan
menghancurkan kedua kota ini.’
Ibrahim berkata, ‘Akankah Engkau
hancurkan yang tak bersalah bersama dengan mereka yang jahat ? Jika engkau
temukan ada sepuluh orang yang baik di dua kota ini, maukah Engkau mengampuni
mereka semua ?’
Allah menjawab, ‘Tak ada hakmu
mempertanyakan-Ku. Percayalah bahwa Aku akan menyelamatkan yang baik dan
menghancurkan yang jahat. Tapi karena Aku Maha Pengasih dan engkau telah
mengajukan permintaan, akan Kutangguhkan pengadilan mereka untuk sementara
waktu – kalau memang ada sepuluh orang baik di sana.’
Tapi tahukah kau, berapa jumlah
orang baik yang ditemukan oleh para malaikat Allah saat itu ? Tak sampai
sepuluh… tidak, hanya Luth dan putrinya saja. Bahkan istrinyapun tidak diampuni
! Karenanya, Allah kemudian menghancurkan kedua kota itu tanpa bekas sama
sekali. Dia bahkan juga akan menghapus mereka dari catatan sejarah, kalau saja
Dia tak berkehendak menjadikan peristiwa itu sebagai demonstrasi tirani-Nya.
Ketika bola api dan belerang panas
menghunjam dari langit, tak ada satu orang baik pun yang mengutuk api tersebut
dan tak ada satu malaikat pun yang keberatan, karena ini terjadi memang atas
perintah Allah, tak lebih dari sekedar instrument kemurkaan Allah. Hanya
orang-orang jahat yang mengutuk bencana itu.
Jadi, hanya orang jahat jugalah yang
mengutuk aku, karena aku memiliki kekuatan yang melebihi mereka. Orang baik
lebih suka menahan diri, karena mereka tahu posisiku sebenarnya.
Tak ada dayaku untuk membuat orang
jadi jahat, tapi kejahatan mereka sendirilah yang memberiku akses untuk
menguasai mereka. Hujan api dari langit tidak membuat para penghuni kota Sodom
menjadi jahat, tapi kejahatan merekalah yang membawa hujan api itu bagi mereka.
Tapi kau masih saja tetap mengutuk
dan menolak menganggapku sebagai mitra bagi Allah dalam ciptaan-Nya, hanya
gara-gara aku tak mau sujud. Jika Dia yang memerintahkanku untuk membangkang
perintah-Nya, mana mungkin aku menolak ? Jika Dia memang menginginkan aku untuk
sujud pada waktu itu, sungguh Dia mampu membuatku sujud. Apa kau piker Dia
begitu lemah sampai aku mampu menentang-Nya ?
Ketika Musa mendaki Gunung Sinai dan
mendengar suara Tuhannya, ia berkata, ‘Bagaimana caraku berbicara mewakili-Mu
di hadapan Fir’aun ? Aku ini pembunuh dan buronan kerajaannya. Mustahil dia
mempercayaiku.’
Allah berkata, ‘Akan Kuberikan lima
tanda kekuasaan-Ku padamu agar ia percaya.’
Fir’aun berkata, ‘Apa nama Tuhanmu ?
Siapakah sesemabahan kaum Yahudi ?’
Musa berkata, ’’Aku’, dengan nama ini
Tuhanku mewujud.’
Fir’aun berkata, ‘Kau tak bisa
mengaku-aku posisi itu (posisi kenabian) begitu saja. Kau adalah seorang
pembunuh dan buronan kerajaan. Tak mungkin Tuhan memberikan posisi seperti itu
pada seorang penjahat.’
Musa berkata, ‘Memang benar, aku
adalah seorang pembunuh. Aku juga seorang buronan kerajaanmu; dan aku takut
akan hukuman. Tapi aku dating ke sini bukan sebagai buronan. Kubawakan pesan
dari Allah dan tanda-tanda kekuasaan-Nya.’
Fir’aun berkata, ‘Tunjukkan padaku
!’
Musa berkata, ‘Akan kuberikan lima
tanda kepadamu.’ Musa lalu melempar tongkatnya menjadi seekor ular,
mendesis-desis di kaki Fir’aun. Musa meraih dan memegang ekornya, dan ular itu
kembali berubah menjadi sebatang tongkat.
Lalu Musa menyelipkan tangannya ke
balik baju. Saat ia menariknya, tangannya itu menjadi putih dan terjangkit
lepra. Sekali lagi ia selipkan tangannya ke balik baju, maka kulitnya pun
kembali normal.
Lalu Musa menumpahkan semangkuk
besar air bening yang seketika berubah menjadi darah begitu menyentuh lantai,
padahal tadinya air bening biasa.
Fir’aun berkata, ‘Ini baru tiga
tanda. Kau janjikan lima padaku.’
Musa berkata, ‘Akulah tanda yang
keempat, dan kau yang kelima.’
Fir’aun berkata, ‘Teka-teki macam
apa ini ? Hanya sebegitukah muslihatmu ?’
Musa berkata, ‘Layaknya tangan putih
(lepra), aku ternodai. Tapi ketika Allah menyembunyikan aku darimu9,
aku menjadi suci, karena Allah menuntun siapa pun yang Dia kehendaki. Layaknya
air, kau pun murni. Allah menganugerahimu berbagai kesempatan dan kelebihan
serta menjaga dan memenuhi segala keinginanmu. Tapi kini kau dicampakkan dan
ternodai, karena Dia juga menyesatkan siapa pun yang Dia kehendaki.
Seorang pengecut dan pembunuh telah
meninggalkan istanamu, tapi seorang Rasul Allah telah kembali. Kekuasaan-Nya
melebihi dan mengendalikan apa pun sepenuhnya, dank au tidak diizinkan
mempertanyakan-Nya. Dia mencampakkanku untuk kemudian membangkitkanku kembali.
Dia meninggikanmu untuk kemudian mencampakkanmu.
Kekuatan dan kekuasaan Allah
melampaui apa pun dan Dia tiada bersekutu atau dipersekutukan, tidak butuh
bantuan atau persetujuan siapa pun. Dia adalah Segalanya dan tak ada apa pun
yang bukan milik-Nya.
Para rasul berkata, ‘Kita semua akan
berpulang kembali pada-Nya,’ tapi aku berpikir, memangnya siapa yang pernah pergi
? Tak ada sepatah pun kata yang kita ucapkan yang belum Dia dengar lebih dahulu
bahkan sebelum kita bicara. Tak ada perbuatan kita yang tidak Dia ketahui
sebelumnya, bahkan sebelum kita sendiri sadar. Tak ada tempat bagimu berdiri
tanpa berada di bawah baying-bayang-Nya.’
Fia’aun berkata, ‘Aku berhak
mendapatkan posisiku yang sekarang. Melalui kekuatan dan kekuasaan, aku
mengangkat diri di atas seluruh orang Mesir dan menjadi tuan bagimu. Kau tak
lebih dari seorang pengecut dan pembunuh, dan kau adalah buronan yang berutang
terhadap pengadilanku. Berani-beraninya sekarang kau mengutukku dan mengangkat
diri jadi nabi. Ini gila !’
Musa berkata, ‘Apa yang diberikan
oleh Allah tidak serta-merta menjadi hak manusia, dan tak seorang pun yang
berhak atas pemberian Allah walau sedikit. Dengan kemahapemurahan-Nya, Dia
menganugerahkan hidup dan kekuatan yang dibatasi oleh waktu. Keadilan-Nya pula
yang membuat-Nya mencabut keduanya darimu.’”
Buhairah mencibir Iblis seraya
berkata, “Kau ini sakit, Iblis. Kau anggap dirimu tak bersalah sama sekali; kau
anggap dirimu sama sucinya dengan Tuhan dengan mengatakan, ‘Setiap kenistaan
dalam diriku adalah hasil perbuatan-Nya ! Yang manakah itu ? Kau bicara tentang
keesaan Tuhan, tapi kau bersembunyi di dalamnya seolah-olah kau dibebaskan dari
segala kesalahan dengan memanfaatkan hal itu.
Saat kau bicara tentang keesaan,
yang kudengar Cuma ‘kesetaraan’. Tapi kau sama sekali bukan sekutu Tuhan,
karena Dia memang tidak bersekutu atau dipersekutukan. Hal-hal keduniawian sama
sekali bukan manifestasi Tuhan, karena Tuhan Mahatinggi dari kefanaan dunia
yang lemah ini. Di rumah Tuhan, segalanya memang milik-Nya; tapi tak semestinya
Dia dicampuradukkan dan dikelirukan dengan apa yang menjadi milik-Nya.”
Iblis tertegun mendengarnya, lalu
berkata, “Tapi kau masih berkeras menuntutku menyembah selain Dia ! Kau lebih
suka melihatku merangkak bagai debu di kaki manusia yang lebih remeh dari debu
! Kekasih macam apa yang menyenangkan Pujaan hatinya dengan mencintai
selain-Nya ?”
Buhairah berkata, “Adalah hak
prerogative Tuhan untuk menyuruhmu sujud di hadapan Adam ! Kekasih macam apa
yang menolak melakukan perintah seremeh itu dari Pujaan hatinya ?”
Iblis berkata, “Tidakkah Tuhanmu
menguji hamba-hamba-Nya ?”
Buhairah berkata, “Jika kau memang lulus
ujian-Nya, aku jamin kau tak akan sampai dikutuk, dibenci, dan buruk rupa
seperti ini.”
Iblis menjawab, “Ketahuilah, tidak
ada akhir bagi ujian semacam ini. Kau pikir masalahnya bisa selesai semudah itu
? Kenapa kau tak bisa menerima bahwa aku ini memang dibentuk dan diarahkan-Nya
untuk jadi seperti ini ? Kau bilang, ‘Segala sesuatu adalah milik-Nya,’ dan
bahwa ‘Dia tak semestinya dikelirukan dengan apa yang menjadi milik-Nya.’ Tapi
saat pedang-Nya menyentuh lehermu, apakah kau akan memohon ampun pada pedang
itu – bukan pada-Nya ?
Akan kuterima dan kuakui segala
kesalahanku. Selama 700 ribu tahun di antara para malaikat, pengabdianku
dikenal sebagai yang terbaik dan aku mencapai kedudukan tertinggi di surga
dalam kehadiran-Nya. Tapi penghambaanku adalah penghambaan yang egois. Jika
seseorang mengenakan jubah hitam dan kecipratan bercak darah dari rumah jagal,
tentunya tak mengapa. Tapi jika seseorang mengenakan jubah putih, setetes darah
dari hidungnya bisa jadi bencana. Aku memujanya demi diriku sendiri, atas rasa
senangku melihat-Nya ridha. Aku sendirilah yang mengganjal pintu gerbang
keselamatanku. Kupikir kesucian-Nya juga menyucikanku dan kemurnian-Nya
memurnikanku. Tapi noda pembangkanganku, walau hanya setitik, telah menodaiku
dan Dia membuangku. Menyingkirkanku dari singgasana kedekatan dengan-Nya. Dia
cabut keindahanku dan memporak-porandakan wujudku. Saat cahayaku dicabut,
duniaku langsung gelap gulita.
Keburukan rupaku ini sebenarnya
bukan wujud utama kutukanku, hanya merupakan tanda keterpisahanku dengan-Nya.
Aku bisa saja mengambil rupa asliku, rupa yang sangat aku suka, tapi kau tak
akan tahan melihatnya. Kau lebih mati daripada melihat Iblis salat, kan ?
Kutukan-Nya adalah namaku. Dia cabut semua pangkatku dan memanggilku ‘Setan’.
Tak ada yang mungkin tanpa izin-Nya.
Masalah penampilan dan nama, itu soal kecil. Perubahan namaku bukanlah pertanda
dosa, tapi dosa itu sendiri – bahwa aku pernah memiliki sebuah nama yang jauh
dari-Nya, seolah-olah aku bisa hidup jauh dari-Nya. Tapi kejatuhanku adalah
pertobatanku. Tidakkah kukatakan kemudian bahwa pembalasan dendamku pada
manusia adalah hanya atas izin-Nya ? Dalam penghambaanku aku menghujat, tapi
dalam pembangkanganku aku diselamatkan dari dosa. Kepada seluruh mahluk aku
umumkan, ‘Tak ada kekuatan atau daya apa pun kecuali seizin Allah,’ dan
kemudian aku ditangguhkan dari hukuman.
Arti dari keesaan-Nya – yang membuat
bingung umat manusia, bahkan manusia pilihan seperti kau, rasanya kini telah
jelas; hanya melalui hal-hal yang berlawananlah segala hal menjadi jelas. Maka,
Dia mengutuk malaikat-Nya yang paling Dia percaya, dan kutukan-Nya lalu menjadi
berkah bagiku – bahwa aku bisa mengabdi dengan lebih egois tanpa kehadiranku di
dekat-Nya. Ini merupakan ujian-Nya agar aku menjadi yang pertama dan paling
pantas menerima kehadiran-Nya. Sebelum aku dibuang, kucicipi anggur
kedekatan-Nya karena Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Saat nanti
kurasakan anggur itu lagi, itu memang karena hanya akulah yang pantas.”
Buhairah berkata, “Kau ini
benar-benar monster ! Dikutuk sampai hari terakhir. Bagaimana mungkin kau
bicara soal penebusan dosa saat namamu sendiri merupakan pemeo bagi segala
kesesatan dan keburukan ?! Bahwa Dia mengijinkan kedua hal ini (kesesatan dan
keburukan) untuk hadi dalam diri mahluk-Nya, bukan berarti Dia menyetujui atau
bahkan merestuinya !Ingatlah, Tuhan tak pernah memerintahkan sesuatu yang
memalukan.”
Iblis tersenyum dan berkata, “Kau
bilang Allah tak pernah memerintahkan apapun yang memalukan ? Kalau begitu, apa
yang kau sebut sebagai pembangkanganku juga tak bisa disebut sebagai memalukan.
Tak ada yang mungkin terjadi kecuali atas perintah-Nya. Memang sedemikianlah
kekuatan-Nya. Bukankah kau bilang sendiri tadi ? Kalau yang demikian saja Dia
tak kuasa lakukan, maka Dia tak pantas menyandang nama ‘Allah’. Kekuasaan dan
kekuatan-Nya mutlak. Dan dia menguasai bukan hanya yang bagus-bagus saja. Apa
yang kau sebut jahat juga merupakan bagian dari kekuatan-Nya. Justru dengan
kekuatan-Nya itu Dia wujudkan kejahatan di dunia.
Dialah Sang Dalang Sejati. Kita ini
apa ? Tak lebih dari sekadar wayang atau aktor di atas panggung milik-Nya,
seraya membeokan skenario yang sudah Dia tanamkan pada kita jauh sebelum
keabadian itu sendiri hadir. Sesuai kata-katamu sendiri waktu mengutukku tadi,
‘Dia tak pernah memerintahkan sesuatu yang memalukan,’ kudengar manisnya alunan
lagu pengampunanku, terpahat dalam instrumen keesaan-Nya.
Tak ada hal yang memalukan bagi Sang
Dalang Sejati. Sang pencinta tentu dengan senang hati mematuhi yang dicintainya
tanpa mempedulikan penampilan luar apalagi pendapat pihak luar. Begitu dahsyat
keindahan-Nya sampai-sampai mereka yang tak menyadari bahwa mereka juga
mencintai-Nya, masih pula patuh dan tunduk pada tangan-tangan-Nya yang tak
terlihat.
Dia tempatkan setan-setan di atas
singgasana dan melucuti kekuatan orang-orang suci. Dia hukum para nabi dan
rasul-Nya, belum lagi siksaan api neraka bagi para pengikut-Nya.
Bukan aku monster yang sebenarnya,
Buhairah. Arahkan amarahmu pada Tuhanmu yang telah menciptakanku demikian. Bukankah
Tuhanmu Mahakuasa dan Mahaperkasa ? Bukankah sudah menjadi kuasa si pembuat
tembikar terhadap tanah lempung, untuk membuat sebuah kendi tampak baik dan
terhormat, sementara yang lain ia buat jelek dan hina ?
Tepat sekali julukan kaum Marcionites
bagi-Nya – Pemberi tugas. Setelah orang-orang Yahudi melarikan diri dari Mesir,
bukan kebebasan yang mereka dapat. Justru sebaliknya, mereka jadi bulan-bulanan
Fir’aun dan keturunannya. Bukankah Mesir memang menelan habis Korah dan
putra-putranya ? Tidakkah Mesir menetapkan hukum yang keji dan konyol khusus
untuk kaum Yahudi ? Bukankah Mesir yang membiarkan mereka berputar-putar tanpa
arah di padang pasir selama empat puluh tahun ? Seberapa bedanya manna
(makanan surga) dari makanan yang dimakan Fir’aun sehari-hari ? Tak heran
apabila kemudian para Yahudi itu, setelah terasing di alam liar sekian puluh
tahun, begitu merindukan Mesir, begitu ingin untuk kembali ke tanah yang
menyambut Ya’qub dan putra-putranya, serta menjadikan Yusuf sebagai raja.
Mereka berkata, ‘Lebih baik mengabdi pada Potiphar daripada meringkuk dalam
penjara Fir’aun!’
Ingatkah kau akan Miriam, adik
perempuan Musa, ketika dia menentang saudaranya dan menuduhnya. Allah marah
demi membela Musa. Allah mengutuk Miriam dan memberinya penyakit lepra.
Kulitnya jadi seputih salju dan ia dipisahkan dari sukunya sendiri. Musa, yang
tentu saja mencintai adiknya, berdoa agar Allah sudi memaafkan Miriam, ‘Ia
memang telah melukai hatiku,’ Musa berujar, ‘Tapi aku memaafkannya. Sudikah
Engkau memaafkannya juga ?’
Sang Mahakejam ini tidak memaafkan
apa pun, padahal si pendosa melakukan dosa tersebut atas perintah-Nya sendiri.
Si Mahakejam ini, seperti kata orang Kristen, memberikan putra-Nya sendiri
untuk membersihkan dunia dari dosa. Butakah mereka ? Sampai kapan pun manusia
akan tetap berdosa dan masih saja Dia menuduh mereka pendosa, tak peduli nasib
putra-Nya sendiri yang akhirnya disalib. Kaum Marcionites juga bodoh
dengan menyangkal penyaliban itu sebagai perbuatan Tuhan Bapak. Mereka takut
mengakui kebenaran, bahwa Tuhan yang satu itu telah menenggelamkan kita semua –
tak peduli baik atau jahat, dalam lautan darah para pencinta-Nya sendiri.
Lihatlah segala penderitaan dan
kesengsaraan yang telah ditimpakan-Nya atas dunia ini. Lihatlah betapa Monster
itu melakukan semua itu hanya untuk menghibur diri ! Jika ada yang terlihat
murni, dibuat-Nya menjadi ternoda ! Jika ada yang manis, Dia buat masam ! Jika
ada sesuatu yang bernilai, dibuat-Nya jadi sampah ! Dia tak lebih dari sekadar
Badut dan Pesulap Murahan, Pembohong Gila ! Dan kegilaan-Nya masih terus
membuatku lebih gila lagi !’”
Buhairah berkata, “Sekarang justru
kau yang menganggap masalahnya sudah selesai ! Kau bilang Dia menyalib
putra-Nya sendiri, dan bahwa Dia membawa penderitaan dan kesengsaraan ke dunia,
tapi kau melupakan akhir dari segalanya seperti yang telah Dia takdirkan,
bahkan terhadap penderitaan dan kesengsaraan ! Waktu kubilang, ‘Kaulah sumber
penderitaan,’ kau berkilah, ‘Aah, tapi itu kan demi tujuan akhir yang mulia.’
Seolah-olah kau punya andil dalam tujuan itu. Jika kasil akhirnya buruk, kau
juluki Tuhan sebagai Monster ! Ini benar-benar bukti terbaik dari kebobrokanmu
sendiri – bahwa kaulah sebenarnya yang monster. Kaulah yang telah menyakiti
hati-Nya dan berdosa terhadap-Nya.”
Iblis berkata, “Kalaupun ada, dosaku
tak akan sanggup melukain-Nya. Aku tak akan pernah bisa melukai hati-Nya
kecuali hatiku sendiri. Tapi jangan lupakan bahwa cinta-Nya adalah cinta pada
diri sendiri. Tak ada ruang bagi cintamu atau bahkan buat Dia mencintaimu.
Tapi lagi-lagi kau menuduhku. Dan
dalam tuduhanmu, sekali lagi kau membebaskanku dari kesalahan. Cobalah barang
sekali ini menilai secara adil di antara kami, antara Dia dan aku. Dia berkuasa
menyesatkan siapa pun yang Dia kehendaki. Tak ada dayaku untuk berbuat begitu,
kecuali jika sudah Dia putuskan demikian sebelumnya. Kenapa kau selalu begitu
mudah mengatakan bahwa semuanya boleh-boleh saja dalam kebusukan-Nya ?
Sementara semua kebaikanku tak pernah kau pandang benar ?
Pertimbangkanlah nasibku, sebagai seorang
hamba dan pelayan bagi Sang Tiran. Aku tak akan sesumbar ingin menumbangkan
tirani-Nya, karena aku juga merupakan instrumen tirani-Nya. Tapi kau, seperti
para sahabatnya Yakobus, beraninya mencercaku untuk dosa-dosa yang tak pernah
ada. Aku ini sama tak bersalahnya seperti Yakobus. Sementara kau, seperti para
sahabatnya, memfitnah aku – terlalu pengecut untuk mengatakan yang sebenarnya
pada Allah.”
Ketika amarahnya mereda, tiba-tiba
Iblis tersungkur, menjambaki rambut, dan menangis terisak-isak. Air mata darah
bertaburan di antara debu. Buhairah mendekat perlahan seraya meletakkan tangan
di bahu Iblis. Saat itu ia lebih tampak seperti seekor burung besar yang
terluka, burung pemakan bangkai berbulu hitam, tapi dengan kedua sayap patah
dan layak dikasihani.
Iblis berkata, “Celaan-celaan ini
merupakan pukulan bagiku. Dia pasti bisa menerima kritikku. Dia pasti mau
memaafkan si tak berdaya ini dari pelanggaran cinta terhadap-Nya. Semalam aku
tidur bersama salah seorang bidadari surga. Pagi harinya, dia sudah pergi.
‘Cintaku,’ begitu bisikku kala kami berpelukan. ‘Pelacur !’ jeritku saat dia
tak ada. ‘Berapa banyak yang harus dia pilih selain aku ? Dia menghibur yang
lain sementara aku mengorbankan segalanya dan merasa hancur tanpanya.’ Kalau
aku memang tidak mencintainya, buat apa aku begitu peduli pada kepergiannya ?
Jangan membayangkan bahwa cintamu
pada-Nya akan membebaskan. Tidak ! Justru penjara bagimu – sebuah benteng yang
mengurungmu agar tak bisa melarikan diri. Jangan membayangkan bahwa cinta telah
membukakan kedua matamu. Tidak ! Ia justru menyaput mereka sampai kau
meraba-raba sendiri dalam kegelapan seperti orang bodoh. Tapi… itu memang
merupakan bukti dari kekuatan cinta, yang terkadang tampak membebaskanmu,
walaupun sebenarnya bagai rantai yang melilit dan menyeret. Dan terkadang
tampaknya cinta juga membuka matamu, walau sesungguhnya kau benar-benar telah
dibutakan.
Atas nama cinta, aku rela berbuat
kurang ajar. Setetes air adalah lautan. Nyala pelita adalah api Neraka Jahanam.
Cinta ini, biar sedikit, adalah anggur yang manis. Lebih dari itu menjadi
racun. Berapa lama sudah kumuntahkan murka dan kesedihanku demi cintaku
pada-Nya. Ini cinta. Bukan kesenangan ataupun ketenangan. Cintaku tak memandang
apakah Dia mengingat atau melupakanku, memberi pahala ataupun tidak. Jika
sesungguhnya aku ini diberkahi dan bukannya dikutuk, bagaimana kau bisa
memastikan kesungguhan cintaku ? Yang lain mencintai-Nya dan diberkahi begitu
saja. Sementara cintaku malah dikutuk. Tapi aku tak akan mundur dari cintaku,
dengan demikian kau sadar nilai diriku yang sesungguhnya.
Allah memerintahkan Ibrahim, ‘Bawalah
putramu, dan jadikan dia sebagai persembahan bagi-Ku.’
Maka Ibrahim membawa putranya ke
puncak gunung, mengikatnya di atas altar, dan berkata pada anaknya, ‘Anakku,
Allah telah memerintahkanmu untuk mengorbankanmu.’
Ishaq10 berkata, ‘Bahkan
jika ini hanya kegilaan ayah semata, nyawaku masih tetap milik ayah yang bisa
diambil sesuka ayah. Terlebih lagi, jika ini memang keinginan Allah, maka
nyawaku sesungguhnya memang milik-Nya, dan Dia pantas mengambilnya kapan saja.’
Ibrahim berkata, ‘Tak masalah benar
apakah ini kegilaan atau keinginan Allah, tapi ini memang keinginan Allah.’
Maka, sambil menangis, ia dekatkan pisau itu ke leher Ishaq.”
Buhairah segera meneruskan kisah
yang terpotong itu, “Tapi Tuhan berkata pada Ibrahim, ‘Bagaimana dengan
janji-Ku untuk menjadikanmu bapak dari sebuah bangsa melalui anak ini ?’
Ibrahim berkata, ‘Pantaskah aku
menilai Tuhanku ? Aku hanya manusia biasa dan tak memiliki kekuasaan menilik
kebenaran kecuali melalui Engkau. Kepada siapa lagi aku mengharapkan
terpenuhinya janji-Mu ? Aku berlindung kepada Tuhan dari (kemurkaan) Tuhan.’
Tuhan berkata, ‘Ketahuilah,
walaupun kau korbankan putramu seribu kali, Aku tetap akan memenuhi janji-Ku
padamu.’
Maka Ishaq pun selamat. Ibrahim
sendiri, walau tak percaya Tuhan menginginkan dia membunuh putranya sendiri,
tetap siap menaati perintah-Nya, karena segala sesuatu menjadi mungkin
melalui-Nya.
Tuhan menciptakan Adam dalam
keagungan-Nya. Dengan meniupkan roh ke dalam tubuh Adam, Dia mengujimu
melaluinya. Maka Tuhan berkata, ‘Sujudlah pada Adam.’ Tapi kau malah
berkata, ‘Tidak kepada siapa pun selain Engkau !’ Kau berlagak patuh dan setia
dalam pembangkanganmu. Saat kau mengamati Adam, kau tak mampu melihat Tuhanmu.
Dalam kepicikan, yang kau lihat memang hanya cermin; tapi kau buta terhadap
keagungan-Nya yang tercermin melaluinya. Kalau kau memang mencintai Tuhan
sedemikian, kenapa kau tak bisa mempercayai-Nya barang sedikit ? Kau mengaku
mampu memahami kehendak Tuhan yang tersembunyi, tapi melihat Tuhan dalam
mahluk-Nya saja tak bisa !
Yang kau tangkap hanya cermin, tapi
kau sudah menyombongkan hal itu ke mana-mana. Bagaimana bisa kau abaikan citra
yang terpantul darinya ? Tuhan tidak memintamu tunduk pada Adam demi Adam
semata, tapi melaluimu Dia berniat menyibak makna keesaan ilahiah. Tapi
gara-gara keangkuhanmu dan kebodohanmu sendiri, belum sempat kau pelajari
kebenaran keesaan-Nya, kau justru menjadi teka-teki dari keesaan itu sendiri. Ya,
kau adalah teka-teki dari dilema keesaan-Nya, dan aku telah memecahkanmu !
Sekarang barulah aku mengerti.
Rasulullah menuntunku menemuimu bukan agar kau mengajariku tentang keesaan
Tuhan, tapi karena kau merupakan teka-teki yang menghalanginya. Aku berhasil
menyingkap misterimu dan kini bisa kujawab semua kebohonganmu.
Sebelum Balqis menjadi seorang ratu,
ada seorang bangsawan muda yang tergila-gila padanya. Wanita itu benar-benar
telah menawan hatinya, dan setiap detik pikirannya tak pernah absen dari khayalan
tentang Balqis. Siang hari dia termimpi-mimpi, malam hari jiwanya tak tenang
membayangkan rupa Balqis yang elok melalui mata hatinya. Wanita-wanita di
istana ayah Balqis bagaikan taburan bintang di surga kecantikan Balqis – bahkan
lebih redup dari bintang, karena keelokan Balqis bagai memandikan dunia dalam
cahanya. Musuh-musuh sang Raja juga sepakat soal yang satu ini. Tak hanya
cantik di luar, kualitas dalamnya pun demikian – tingkah lakunya mulia;
sikapnya bersahaja, baik hati, dan berbudi luhur. Makin hari sejak pemuda
bangsawan itu mengenal Balqis, demam cintanya jadi makin kentara. Makin hari
wajahnya makin pucat dan tubuhnya makin lemah, sementara keinginan hatinya tak
tersalurkan – tumbuh makin dahsyat selama objeknya tak ada. Teman-temannya tak
bisa berbuat banyak karena ia telah meminta mereka bersumpah untuk merahasiakan
sebab-musabab penyakitnya. Tapi akhirnya ada juga seorang sahabat sejati yang
dengan pertimbangan moral mampu menyeimbangkan antara menjada rahasia dan
keselamatan sahabatnya. Sang sahabat langsung membocorkan rahasia itu ke putri
sang Raja sendiri. Jadilah Balqis memanggil si pemuda demam cinta itu ke
hadapannya, dan berkata langsung ke pokok masalah.
Balqis berkata, ‘Tahukah kau berapa
banyak lelaki yang telah menyatakan cintanya padaku ? Mereka semua sudah kuuji,
dan semuanya memang tulus menginginkanku. Tapi sekali ini, setidaknya
selamatkanlah nyawamu. Jangan keras kepala begitu. Tanggalkanlah cintamu.’
Si bangsawan muda menjawab,
‘Berkatalah sesukamu; bagaimanapun aku tetap budakmu.’
Balqis berkata, ‘Satu budak lagi
buatku ? Aku tak butuh pengabdian orang yang plinplan, pembangkang, dan dengan
bodohnya mengaku-aku apa yang tidak ia pahami. Tolonglah, jangan keras kepala.’
Si pemuda menjawab, ‘Aku tak bisa
berbuat lain selain bertahan. Pilihan ini bukan milikku; pun seandainya diberi
pilihan, tetap aku akan memilihmu. Mintalah keinginanmu. Ujilah aku sesukamu,
niscaya akan kau temukan kesungguhan cintaku.’
Balqis mengusirnya. Dan selama
berminggu-minggu dia tidak menghubungi. Tapi akhirnya pada suatu hari Balqis
mengutus seorang gadis berbaju rombeng dan cemong dengan jelaga hitam. Gadis
itu membawa pesan berisi tulisan tangan Balqis, lengkap dengan cap kerajaan:
Jika memang tulus cintamu padaku,
bawalah gadis ini ke ranjangmu;
karena jika kau memang mencintaiku,
maka dia juga akan mencintaimu.
Si bangsawan muda menjadi marah
sekali dan berkata, ‘Bagaimana mungkin aku mengawini gadis ini ? Balqis tak
mungkin serius menyuruhku demikian. Ini gila. Ini pasti ujiannya bagiku – dia
menyuruhku mengawini gadis ini untuk membuktikan bahwa aku tak sungguh-sungguh
mencintainya lantaran tak sanggup menahan diri (terhadap gadis lain). Tapi yang
begini mana mungkin disebut ujian. Gadis ini begitu menjijikan, melarat, dan
kotor.’
Ketika ia mengusir si gadis,
tiba-tiba saja muncul dua prajurit menelikung lengannya. Sementara itu, si
gadis menyeka kotoran dari wajahnya dan menampilkan sosok aslinya yang tak lain
adalah Balqis sendiri. Seketika itu juga si bangsawan menyesali apa yang telah
ia katakan.
Balqis berkata, ‘Melalui ujian ini
telah kuungkapkan watak aslimu. Jika kau memang mencintaiku demi aku, mestinya
kau patuhi pesanku. Tapi kau mencintaiku demi dirimu sendiri dan karenanya tak
mampu mengenaliku dalam bentuk lain selain dari imajinasimu sendiri.
Kesombongan dan keangkuhan akalmu telah begitu membutakanmu.’
Iblis, kau telah mencampakkan rantai
kepatuhan dan menyebut penolakanmu sebagai ‘kepatuhan’. Telah pula kau
tanggalkan cintamu dan masih berani menyebut hal itu sebagai ‘cinta’.
Kau mengolok-olok dan
menyalahgunakan arti sesungguhnyadari keesaan-Nya. Kau menyebut dirimu
bertauhid, tapi menempatkan diri sebagai sekutu-Nya. Kau sebut dirimu sebagai
instrumen kemurkaan-Nya, seolah kau tak tergantikan bagi-Nya. Kau membungkus
diri dalam potongan-potongan kebenaran untuk menutupi kebenaran yang lebih
besar. Ketahuilah bahwasanya Tuhan jauh lebih kuat dari yang kau bayangkan. Kau
bilang Dia tak sanggup mencapai tujuan-Nya kecuali jika kau mau menerima jubah
kutukan-Nya. Asal kau tahu, kemampuan dan kekuatan Tuhan jauh melampaui
kemampuanmu untuk menolong ataupun menyakiti-Nya !”
Iblis menyeringai mendengar uraian
Buhairah, “Kau benar-benar bodoh, Buhairah. Segala yang Dia ajarkan padamu
tentang aku tak lebih dari sekadar mitos dan bayang-bayang. Lihatlah
kemiripanmu denganku.
Sengaja kusembunyikan kebenaran ini
darimu; telah kututupi umat manusia dari hal ini – rahasiaku dengan-Nya;
rahasia ini adalah bukti keintimanku dengan-Nya.
‘Aku diciptakan sebelum dia (Adam)
!’ kataku. Tapi aku tidak maksudkan ini sebagai : ‘Aku lebih hebat atau lebih
tinggi darinya.’ Seandainya saja kau tahu. Mari, biar kuungkapkan rahasia kami
padamu. Dia menciptakan manusia sebagai cerminanku. Dia berkata padaku, ‘Berperanglah
dengannya, agar kau mampu membersihkan wujudnya dalam dirimu.’ Sejak Adam
diciptakan, setelah Allah meniupkan esensi dosa-dosaku ke dalam tubuhnya, Dia
telah memerintahkanku untuk sujud. Dia perintahkan demikian agar aku tak harus
melihat yang sebenarnya, bahwa manusia sesungguhnya adalah sifat jahatku
sendiri, yang dibentuk dari tulang rusuk keangkuhanku. Aku tidak sujud, tapi
memandang tajam ke arah Adam; merasa ngeri melihat dosa-dosaku sendiri yang
diabadikan di dalamnya.
Kalau saja aku bersedia sujud, aku
pasti aman dan tetap terhijabi. Tapi tidak, aku justru menghunus pedang melawan
kalian (manusia) – Dia telah membuat semua dosaku mewujud di dalam diri manusia
! Seluruh penciptaan adalah ujian-Nya bagiku ! Bukan aku yang harus diatasi
oleh manusia; justru manusia yang harus bisa kuatasi ! Kalian adalah musuhku.
Kalianlah abu dari apiku – Allah telah menarik kalian keluar, memanifestasikan
seluruh kesalahanku dalam abu dan debu. Dan jika bumi sudah berhasil
kubersihkan dari kalian semua, akan kuperas darah kalian dari selaput kebencian.
Di hari kiamat kelak, saat waktu penangguhanku berakhir, setelah kubasmi kalian
semua dari seluruh penjuru jagat, saat aku tersucikan kembali, pada saat itulah
Dia akan mengembalikan tempatku di sisi-Nya.”
Kedua sayap Iblis membuka. Lebarnya
seolah memadamkan kerlipan bintang; kedua sayap itu terus mengembang sampai
nyaris menyaput seluruh langit. Buhairah terjerembab dalam kengerian melihat
wujud Iblis. Rahang monster itu memanjang dan
menggantung ke depan secara tak wajar, menampilkan serangkaian gigi tajam dan
basah oleh liur dan darah.
Iblis menggeram, “Telah kuhunus
pedangku melawan kalian. Telah kuangkat sumpah untuk memusnahkan kalian. Dasar
kutu busuk hina ! Perang melawan kalian adalah jihad adanya.”
Dalam kengerian luar biasa,
beruntung sekali Buhairah masih mampu bersuara, bahkan berteriak, “Bohong !
Semua bohong ! Memang sudah watakmu untuk mengatakan apa saja demi membenarkan
kekejaman dan kebodohanmu… tapi semua itu cuma rasionalisasi sesat. Kau selalu
begitu, dan ketika cerminnya diserahkan ke tanganmu, kau bilang, ‘Kau membuat
wajahku buruk !’ Tak pernah sekalipun kau akui pembangkanganmu dan malah
menyalahkan pihak lain !
Yang rakus bukanlah seorang asket
(pertapa). Kurang nafsu makan bukanlah puasa yang sebenarnya. Barang curian
bukan untuk amal, tidak pula membayar pajak bisa disebut sebagai kedermawanan.
Dan ceritamu barusan, aku heran bagaimana kau bisa menjaga kebohonganmu
terus-menerus. Setiap argumenmu bila berdiri sendiri tampak bagai mutiara
retorika dan logika. Tapi jika disatukan, mereka tampak konyol dan terlalu
mencolok. Untuk setiap satu argumen, kau buat sepuluh argumen lain yang
kontradiktif satu sama lain. Tapi dongeng terakhir tadi benar-benar mahakarya
kebohongan. Kau bahkan telah mengalahkan kau Marcionites dalam hal ini.
Dari mana harus kumulai ? Mestikah
kutanyakan untuk apa Tuhan menciptakan para rasul-Nya dari manifestasi
kekejianmu ? Mestikah kutanyakan, bagaimana bisa abu apimu saja mampu
mengalahkan bahkan api itu sendiri ? Mestikah kutanyakan, bagaimana mungkin Tuhan
terlibat dalam kebohonganmu pada umat manusia ? Atau, untuk apa Dia harus
berbohong tentang sifat asli kita masing-masing ? Atau, kenapa kau harus
memilih untuk melindungi rahasia ini ? Mestikah kutanyakan bagaimana caranya
rahasia antara kau dan Penciptamu itu bisa diketahui oleh mahluk hina sepertiku
? Mestikah kutanyakan mengapa perang melawan kesombongan telah membuatmu
menjadi begitu angkuh ?”
Iblis perlahan kembali tenang. Kedua
sayapnya ia lipat lagi, lalu ia duduk di tepi sungai dan tertawa keras seperti
burung gagak – ia sama sekali tak berusaha menutupi tawanya itu. Sekejap
Buhairah sempat melihat secuil keindahan wujud Iblis yang asli – sebelum
terkutuk, dan tiba-tiba saja merasa sedih dan sayang bahwa Tuhan telah
menciptakan mahluk seindah itu hanya untuk diusir kemudian.
“Wahai Buhairah, hebatnya kau telah
‘mengganyang’-ku sedemikian ! Tapi dengarkan aku barang sebentar, walau
godaanku padamu tak berhasil. Dengarlah sejenak.
Biasanya umat manusia adalah mangsa
yang mudah. Ibaratnya kau taruh kotoran dalam tas perhiasan pun, manusia akan
membayar sesuai beratnya. Betapa mudahnya kalian kutipu, karena – anehnya –
kalian tampaknya memang begitu ingin ditipu. Kalaupun aku telah gagal
membodohimu hari ini, Buhairah, itu karena aku belum mengatakan apa yang ingin
kau dengar – biasanya orang mudah sekali tergelincir di situ. Berjuta keluhan
kau utarakan, ujung-ujungnya hanya ingin mendengar gema suara batinmu sendiri.
Bah ! Kalau saja kulancarkan taktik ini padamu, rasanya sudah sejak tadi kau
bersimpuh memujaku.
Betapa mudahnya kalian ditipu.
Uniknya lagi, sekalipun tiada diriku sebagai sang penghasut besar, kalian
sendiri pasti mampu mengembangkan keahlian menghasut yang nyaris setara
denganku – sekarang pun sudah banyak yang demikian. Dan kalau kalian punya
cinta, cinta kalian cenderung hanya berdasarkan lapisan kulit yang paling luar.
Tahu maksudku ? Sedikit kulit mulus saja melapisi isi perut, para darwis
langsung jatuh pingsan sambil tersenyu, sang asket melupakan sumpahnya, para
syekh mengabaikan tanggung jawab mereka – semua itu hanya karena seonggok
daging dan tulang.
Singkaplah hijab hatimu, dan
lihatlah apa yang sebenarnya kau sukai – apa yang mati-matian rela kau kejar !
Lihatlah menembus sosokku ini, karena akulah dunia, hijabnya Allah. Jangan
terobsesi padaku, karena aku hanyalah salah satu dari sekian banyak manifestasi
yang banyaknya mengalahkan jumlah bintang dan planet-planet, melebihi seluruh
pasir di segenap jagat milik-Nya.
Janganlah membenciku, ataupun
membenci dunia. Tapi jangan pula mengabaikanku. Ketahuilah yang sesungguhnya
tentang aku dan berdamailah denganku, karena Dia akan melindungimu jika kau
memang pantas Dia lindungi. Jika tidak, maka kau adalah milikku.
Jangan berpikir bahwa aku mengajak
manusia ke keabadian di Neraka Jahanam. Aku tidak membeli jiwa seperti yang
kalian dongengkan. Buat apa aku membeli sesuatu yang dengan begitu bebas
diberikan padaku setiap hari dengan begitu berlebih ? Aku juga tak butuh
pengikut.
Jika memang kulakukan seperti katamu
dan aku bersalah atas kesombonganku, tetap saja aku terhitung pendosa yang
paling bontot. Adam juga lupa akan Tuhannya dan dia pun diusir dari surga. Tapi
dia menemukan maaf dan pengampunan di tangan-Nya. Mana bagianku ?
Buhairah, setidaknya pahamilah
uraianku berikut ini – setelah wahyu Allah datang padanya, Yunus langsung
melarikan diri ke Yafo.11 Dibelinya tiket kapal laut menuju Tarsis.
Kapal segera angkat sauh dan Allah kemudian mengirimkan badai yang mengerikan.
Para awak kapal begitu ketakutan dan berdoa agar selamat. Sementara Yunus asyik
tidur di kabin bawah, awak kapal sibuk membuang muatan ke laut untuk
meringankan kapal agar tidak tenggelam.
Kapten kapal menemui Yunus dan
segera membangunkannya, ‘Bangunlah, tukang tidur ! Dan berdoalah kepada Tuhanmu
agar Dia menyelamatkan kita.’
Awak kapal segera memandangnya. Mata
mereka sarat tuduhan bahwa badai ini pasti bawaan Yunus.
Yunus berkata, ‘Allah sedang marah
padaku; aku melanggar perintah-Nya dan lari dari-Nya.’
Para awak kapal bertanya, ‘Bagaimana
cara menyenangkan-Nya agar nyawa kita selamat ?’
Yunus berkata, ‘Lemparkan aku ke
laut agar badai mereda.’
Para awak kapal berkata, ‘Kami tak
mau membunuhmu.’
Yunus berkata, ‘Kalian bukan
pembunuh. Kalian semata-mata instrumen Allah Yang sedang marah demi
mengingatkanku. Percayalah, jika kalian lempar aku ke laut, kalian akan
selamat.’
Dan ketika mereka menghempaskan
Yunus ke laut, tiba-tiba laut menjadi tenang kembali seperti janji Yunus. Dan
ketika Yunus tenggelam di balik ombak, Allah mengirim seekor ikan raksasa yang
menelannya hidup-hidup.
Di tengah kegelapan dan tak mampu
bergerak, Yunus berkata, ‘Aku telah melarikan diri dari-Nya dan dicampakkan
dari hadirat-Nya. Tapi Dia tetap mau mendengar jeritan penderitaan dan
kesusahanku. Dan walaupun aku dihukum, Dia tetap melindungi dan menolongku;
maka aku akan menyampaikan pesan-Nya sesuai perintah. Sungguh, tak ada yang
bisa kulakukan selain patuh, bahkan pada saat aku tengah membandel.’
Buhairah, ratapanku bukanlah
teka-teki untuk anak-anak, tapi sebuah ketulusan – pun andai aku dikalahkan
dalam ketulusanku. Jika memang tidak tulus, maka kebohongan yang kubuat
sesungguhnya datang dari rasa maluku, bukan keangkuhan. Namun demikian, rasanya
aku sudah cukup banyak berkata-kata – dan benar bahwa para rasul-Nya pun,
seperti Yunus, tergoda oleh hasutanku untuk mempertanyakan Allah. Tapi kau
telah mengalahkan aku, dan karenanya telah pula mengatasi masalah ‘kesesatan
berpikir tentang hal-hal berlawanan’ dan ‘misteri keesaan Allah.’
Aku memang dikutuk sampai akhir
zaman, tapi aku tetap tidak akan pernah sujud demi Adam. Apakah jubah kutukan
ini memang sengaja kuterima atau disematkan karena pembangkanganku, tetap saja
aku lebih memilih untuk bertahan – karena bahkan dalam posisi yang berlawanan
ini, aku tetaplah hamba-Nya.
Aku memang dikutuk, tapi memiliki
harapan. Aku tak bisa menyembah-Nya karena merasa malu di hadapan-Nya.
Di hadapan Yang Maha Pengasih,
adalah sebuah dosa untuk sampai merasa putus asa terhadap ampunan-Nya. Barangkali saja kaulah yang akan berdoa kepada-Nya atas
namaku dan mohonkan ampunan-Nya, betapa pun remeh rasanya bagimu. Ingatlah aku,
Buhairah, sebagaimana Musa mengingat Miriam.”
Catatan :
1 Para nabi as adalah orang-orang yang maksum (terjaga dari
kesalahan dan dosa). Dalam kasus Nabi Adam as, beliau tidak melanggar larangan
Allah yang bersifat tasyri’i (yang bila dilanggar mengakibatkan dosa, seperti
larangan mencuri, berzina, dan sebagainya). Yang beliau langgar adalah larangan
Allah yang bersifat irsyadi (yang hasilnya adalah konsekuensi, bukan dosa.
Seperti larangan menyeberangi jembatan yang rapuh, yang bila dilanggar maka
konsekuensinya kita akan terjatuh ke sungai).
Dalam hal ini nabi, Nabi Adam as
mendambakan kesempurnaan yang diwakili oleh Rasulullah saw beserta keluarga
beliau (yang dilambangkan dengan ‘pohon dan buah surga’). Padahal Allah telah
melarang Nabi Adam untuk mendambakan hal semacam itu, karena niscaya beliau
tidak akan mampu mencapainya. Maka, konsekuensinya (karena beliau berusaha
meraih kesempurnaan itu dengan metode yang salah) Nabi Adam pun turun ke dunia
yang merupakan “gudang ketidak sempurnaan.”
2 Menurut riwayat lain, 24 ribu tahun.
3 Iblis termasuk bangsa jin, namun telah masuk dalam golongan
malaikat.
4 Allah SWT bukanlah materi, dan tentu saja tidak bisa
dilihat dengan mata fisik yang material – baik di dunia maupun di akhirat. Dia
hanya bisa “dilihat” dengan mata hati.
5 Ini hanyalah klaim Iblis. Sebagaimana telah dijelaskan,
para nabi as adalah orang-orang maksum
6 Junaid al Bagdadi, seorang sufi terkemuka.
7 Yang dimaksud dengan Yusuf di sini adalah sosok yang
digambarkan sebagai suami Maryam dalam tradisi Kristen. Dalam Injil Matius (1:
18) dikatakan, “Kelahiran Yesus Kristus adalah sebagai berikut : Pada waktu
Maria, ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung Roh Kudus,
sebelum mereka hidup sebagai suami-istri”
8 Berkuasanya Namrud dan matinya ia karena serangga adalah
ketetapan Ilahi (qadha) sebagai hasil dari sebab-sebab yang Namrud usahakan
sendiri.
9 Merujuk pada kenyataan bahwa Fir’aun-lah yang membesarkan
Musa, tanpa ia sadar bahwa Musa-lah yang akan meruntuhkan kerajaannya kelak.
10 Berbeda dengan Islam, dalam tradisi Kristen dikatakan bahwa
Tuhan memerintahkan Nabi Ibrahim agar mengorbankan Nabi Ishaq (bukannya Nabi
Ismail sebagaimana dalam tradisi Islam) sebagai ujian bagi keimanannya.
11 Ini hanyalah klaim Iblis yang tak berdasar. Sesungguhnya
semua celotehan Iblis di sini tentang Nabi Yunus, penuh dengan kebohongan.
Sebenarnya Nabi Yunus pergi meninggalkan kaumnya setelah dakwahnya tidak
dihiraukan. Nabi Yunus pergi atas perintah Allah, untuk menghindari azab-Nya
yang akan turun pada kaumnya. Setelah Nabi Yunus pergi, kaumnya menyadari bahwa
azab Allah akan datang. Maka, mereka pun akhirnya mengimani apa yang
disampaikan Nabi Yunus, dan azab pun urung diturunkan. Karena itu, Nabi Yunus
pun dikembalikan oleh Allah kepada kaumnya.
“Dan mengapa tidak ada (penduduk)
suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum
Yunus ? Tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka
azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada
mereka sampai kepada waktu yang tertentu.” (QS Yunus 98)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar