13 Juli 2012 09:56 WIB
Oleh:
Drs. H. Tadjuddin Noor, SH, MH.
Wakil Ketua PW. Muhammadiyah Kalsel
Argumen Muhammadiyah dalam berpegang kepada Hisab seperti yang disampaikan Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. berikut:
Pertama,semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan”
(QS. 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan
bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau
diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak
kegunaannya. Dalam QS. Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya
untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua,jika spirit Qur’an adalah hisab, mengapa
Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa
Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat
(beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi Saw
adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan
melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat
Al Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi;
kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah
demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan
kadang-kadang tiga puluh hari.”
Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya
ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat
melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak
ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi.
Yusuf Al Qardawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya,
melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang
oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa
menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam
semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui
hisab.
Ketiga,dengan rukyat umat Islam tidak bisa
membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan
karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum
menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai
sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di
kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang
terstruktur dengan baik.
Keempat,rukyat tidak dapat menyatukan awal
bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda
memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini
karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka
bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada
muka bumi lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang
utara 60 derajat dan di bawah lintang selatan 60 derajat adalah kawasan
tidak normal, dimana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu
lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar.
Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada
musim panas melebihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24
jam.
Kelima,jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya
bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur
tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya
lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal
bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya.
Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di
suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun,
jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman
sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas
pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam,rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan
puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di
kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di
kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda
satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya,
hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat
melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan
hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk
bulan Zulhijjah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di
ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan
suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak
dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras di
seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian
sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar
kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II
untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah)
menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati
bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariah di kalangan umat
Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap
hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan
hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat.”
Sebagaimana diketahui pada garis besarnya sistem penetapan awal bulan
Qamariyah ada dua yaitu hisab dan ru'yah. Kedua sistem ini bermaksud
untuk mengamalkan sabda Rasulullah SAW tentang penentuan awal bulan
khususnya bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, yaitu :
Ru'yatuI hilalyang dalam istilah astronomi
disebut observasi secara langsung awal bulan Ramadhan dan awal bulan
Syawwal yaitu sabda Rasulullah SAW yang artinya: "Berpuasalah kamu
ketika melihat bulan (bulan sabit Ramadhan) dan berbukalah kamu ketika
melihat bulan (bulan Syawwal) maka jika mendung hendaklah kamu
sempurnakan bulan Sya'ban tiga puluh hari. (hadis ru'yah, dalam Kitab
Shahihul al-Bukhari, hadis yang ke-940). Menurut prinsip ru'yat
penentuan awal bulan harus dibuktikan dengan melihat bulan sabit (hilal)
di atas ufuk pada hari yang ke 29. Jika hilal tidak berhasil dilihat
karena mendung atau tertutup awan maka harus diistikmalkan/disempurnakan
30 hari. Ru'yah berasal dari akar kata ra'a yang artinya melihat dengan
mata telanjang sebagaimana di zaman Rasulullah Saw. Jadi golongan ahli
ru'yah ini berpatokan kalau sudah melihat bulan sabit (baru), baru hidup
bulan (datang bulan baru). Kalau tidak melihat bulan karena mendung
atau tertutup awan maka bulan masih belum hidup (masih tanggal 30),
sehingga tanggal satu bulan baru pada besok lusa. demikianlah pendapat
ulama dari kalangan mazhab Syafi'i antara lain Ibnu Hajar Al Haitami
dalam kitab Tuhfah juz ke IIIhal 374 yang intinya mewajibkan puasa
dikaitkan dengan ru'yatul hilal yang terjadi setelah
terbenam mata hari bukan karena wujudnya hilal walaupun bulan sudah
tinggi di atas ufuk kalau bulan tidak terlihat belum masuk bulan baru.
Sistem hisabmenurut Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A.yang disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1431 H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY. “Hisab
yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode
menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru
dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi
atau ijtima', ijtima' itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada
saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk.”
Pada prinsipnya hisab berdasarkan sistem ijtima, yaitu antara bumi dan
bulan berada pada satu garis lurus astronomi. Bulan menyelesaikan satu
kali putaran mengelilingi bumi dalam waktu 29 hari 44 menit 27 detik
atau satu keliling. Jika ijtima terjadi setelah matahari terbenam pada
hari ke 29 maka besoknya terhitung hari yang ke 30 (bulan baru belum
wujud), tetapi jika ijtima terjadi sebelum mata hari terbenam hari yang
29 maka besoknya terhitungbulan baru atau tanggal 1. Hisab ini
berdasarkan firman Allah Surah Yunus ayat 5 yang artinya :
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat)
bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan
dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada
orang-orang yang Mengetahui.
Dalam hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
yang artinya: Sebenarnya bulan itu dua puluh sembilan hari maka
janganlah kamu berpuasa sehingga
kamu melihat bulan dan janganlah kamu berhari raya sebelum kamu melihat
bulan, jika mendung "kadarkanlah" olehmu untuknya.
Para ulama berbeda pendapat tentang arti kata-kata "kadarkanlah". Ada
yang menafsirkan sempumakanlah 30 hari. Ada pula yang berpendapat arti
"kadarkanlah" tersebut adalah "fa'udduhu bil hisab" artinya
kadarkanlah dengan berdasarksn hisab dari pendapat lbnu Rusyd dalam
kitabnya Bidayalul Mujtahid. Demikian pula Ibnu Syauraidi Mutarrif dan
Ibnu Qulaibah bahwa yang dimaksud "kadarkanlah" ialah dihitung menurut
ilmu falak. Ulama Syatriyah yakni Imam Ramli dalam kitabnya Nihayatul
Mujtahid Juz III hal. 148 menyatakan: Bahwa bagi ahli hisab dan orang
orang yang mempercayainya wajib berpuasa berdasarkan hisabnya. Demikian
pula kalau ada orang yang mengaku telah melihat bulan padahal menurut
perhitungan hisab bulan belum terwujud maka kesaksian ituditolak (Tuhfah
Juz IIIhal. 382). Aliran baru Imam Qalyubi menjelaskan ada 10
pengertian yang dikandung dalam hadis shumu liru'yatihi,
diantaranya adalah ru'yah diartikan pada ilmu pengetahuan, maka pendapat
ahli hisab tentang bulan atau tanggal dapat diperpegangi (Qalyubi Juz
II hal 49), jadi ru'yah tidak mesti dengan mata telanjang.
Mengapa Muhammadiyah memakai sistem hisab ?
Prinsip yang selalu dianut oleh persyarikatan Muhammadiyah adalah setia
mengikuti perkembangan zaman kemajuan sains dan teknologi yang
menyelaraskan dengan hukum-hukum Islam. Inilah yang dikenal sebagai
tarjih dan pemikiran. Apalagi masalah keumatan khususnya dalam penetapan
awal bulan Ramadhan dan Syawal, para ahli hisab Muhammadiyah yang
tergabung dalam Majelis Tarjih dan Tajdid telah memberikan pendapatnya
kemudian dituangkan dalam surat keputusan pimpinan pusat Muhammadiyah
tentang penetapan awal Ramadhan dan Syawal.
Hukum yang ditetapkan Muhammadiyah harus berangkat dari dalil Naqli
Al-Qur'an dan As-Sunah Shahihah dan dari acuan pokok tersebut
dikembangkan berdasarkan kaedah Ushul Fiqh.
Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan menggunakan sistem hisab hakiki wujudul hilalartinya
memperhitungkan adanya hilal pada saat matahari terbenam dan dengan
dasar Al-Qur'an Surah Yunus ayat 5 di atas dan Hadis Nabi tentang ru'yah
riwayat Bukhari. Memahami hadis tersebut secara taabudi atau gairu ma'qul ma'na/tidak
dapat dirasionalkan, tidak dapat diperluas dan dikembangkan sehingga
ru'yah hanya dengan mata telanjang tidak boleh pakai kacamata dan
teropong dan alat-alat lainnya, hal ini terasa kaku dan sulit
direalisasikan. Apalagi daerah tropis yang selalu berawan ketika sore
menjelang magrib, jangankan bulan, matahari pun tidak kelihatan sehingga
ru'yah mengalami gagal total.
Hadis tersebut kalau diartikan dengan Ta'qul ma'naartinya
dapat dirasionalkan maka ru'yah dapat diperluas, dikembangkan melihat
bulan tidak terbatas hanya dengan mata telanjang tetapi termasuk semua
sarana alat ilmu pengetahuan, astronomi, hisab dan sebagainya.
Sebaliknva dengan memahami bahwa hadis ru'yah itu ta'aquli ma'na maka
hadis tersebut akan terjaga dan terjamin relevansinya sampai hari ini,
bahkan sampai akhir zaman nanti. Berlainan dengan masalah ibadahnya
seperti shalat hari raya, itu tidak dapat dirasionalkan apalagi
dikompromikan karena ketentuan tersebut sudah baku dari sunnah Rasul.
Tetapi kalau menuju ke arah ibadah itudapat diijtihadi, misalnya
berangkat haji ke Mekkah silahkan dengan transportasi yang modern tetapi
kalau dalam pelaksanaan hajinya sudah termasuk ibadah harus sesuai
dengan sunnah Rasul. Dengan pemahaman semacam ini hukum Islam akan tetap
up to date dan selalu tampil untuk menjawab tantangan zaman.
Dengan demikian maka Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan memakai
sistem hisab berdasarkan wujudul hilal. Andaikata ketentuan hisab
tersebut berbeda dengan pengumuman pemerintah apakah melanggar ketentuan
pemerintah? atau dengan melanggar Al-qur'an surah Annisa ayat 59 "Athiullah wa athi'u ar rasul wa ulil amri minkum".
Muhammadiyah tidak melanggar ketentuan pemerintah dalam soal ketaatan
beragama sebab pemerintah membuat pengumuman bahwa hari raya tanggal
sekian dan bagi umat Islam yang merayakan hari raya berbeda berdasarkan
keyakinannya, makadipersilahkan dengan sama-sama menghormatinya. Jadi
pemerintah sendiri sudah menyadari dan mengakomodir perbedaan tersebut.
Demikian agar semua menjadi maklum.
Source ( www.muhammadiyah.or.id/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar